Hasan Tiro : The Unfinished Story of Aceh.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiACTJeTbgONnNf0Zo2Of8XpHWnfwAmsgYBXM_hfgH4R1hSYex8XraL03cpADBKEWCzW3-TuEQvQfT8_VyEuX6uez5cw7_elqdtA-3DVCkqamw2n_MWnWGG8R1lekj_05DvjDzq6NYeSUaW/s72-c/url.jpeg
Judul : Hasan Tiro : The Unfinished Story of Aceh.
Penyunting : Husaini Nurdin.
Penerbit : Bandar Publishing, Banda Aceh.
Cetakan I : Juli 2010.
Tebal : 308 + xviii.
ISBN : 978-602-95119-4-9.
Harga : Rp. 55.000,-
Penyunting : Husaini Nurdin.
Penerbit : Bandar Publishing, Banda Aceh.
Cetakan I : Juli 2010.
Tebal : 308 + xviii.
ISBN : 978-602-95119-4-9.
Harga : Rp. 55.000,-
Hasan Muhammad Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah meninggal pada 3 Juni lalu di Banda Aceh, tapi kenangan tentangnya tidak mudah dilupakan, terutama bagi masyarakat Aceh. Ada banyak sisi kehidupannya yang mulai terkuak ke publik, sejak kepulangannya ke Aceh pertama sekali pasca-pengasingan 29 tahun di Swedia (1979-2008).
Tokoh yang digelari Wali oleh para pengikutnya ini merupakan cucu pahlawan nasional, Tgk. Chik Di Tiro. Teungku Chik Di Tiro ketika itu digelari Wali al-Amri (pemimpin darurat), ketika mengambil alih kekuasaan Sultan Muhammad Daudsyah (1884-1903), raja terakhir Aceh yang menyerah kepada Belanda.
Ketika Hasan Tiro masih menjalankan misi “pemberontakannya”, ia mengangkat dirinya sebagai Wali Nanggroe yang berarti mengambil alih fungsi pemerintahan yang tidak sah di Aceh. Dalam UU No. 11/2006 butir tentang Wali Nanggroe dijadikan struktur adat semata dan jauh dari nilai politis.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan, sebagian besar telah dipublikasikan di media massa. 44 penulis buku ini berasal dari beragam latar belakang : wartawan, akademisi, aktivis, pengamat politik, dan seniman. Angka 44 dipilih oleh penerbit untuk menandakan takziah pada hari ke-44 dalam tradisi Islam Aceh, yang biasa diikuti kenduri raya.
Beberapa fragmen diceritakan, seperti sambutan meriah pada kepulangannya pertama kali, 11 Oktober 2008. Konon pengamanan untuknya saat itu melebihi pengawalan SBY atau Bill Clinton ketika ke Aceh. “Maklum saja, SBY dan Clinton adalah presiden dan mantan presiden yang dipilih lima tahun sekali. Dia ini raja Aceh, tak ada pensiun sampai meninggal” (hal 254). Pengerahan saat itu adalah ketiga terbesar dalam sejarah Aceh, setelah Tgk. Daud Beureueh turun gunung (9 Mei 1962) dan aksi mendukung referendum Aceh (8 November 1999).
Kepulangannya yang kedua, 17 Oktober 2009, jauh dari ingar-bingar bahkan terkesan tanpa peliputan. Kepulangan kedua seperti rayuan alam, tanda bahwa sungai kehidupannya sebentar lagi menguap.
Sebuah pengalaman seorang penulis, Asnawi Ali, dalam 30 Menit Bersama Hasan Tiro, menggambarkan Tiro sebagai sosok serius dan teliti. Ia mengoleksi sebagian besar pemberitaan Aceh dan membingkai sampul majalah yang memuat fotonya atau panglimanya di dinding apartemennya di Stockholm. Seperti sebuah foto Panglima Abdullah Syafe’i (almarhum) dengan artis seksi Cut Keke (hal. 65).
Wartawan senior Tempo, Arif Zulkifli, merekam menit-menit keberangkatan pertama kali ke Aceh dari Kuala Lumpur. Ia mengambarkan emosi Tiro dalam pesawat Fireflymenjelang mendarat di Aceh. Ia memandangi liukan bukit barisan Aceh, dan sekejap kemudian ia memeluk Amir Mahmud, kakak Malik Mahmud, tokoh kedua GAM, dengan penuh keharuan. “Lon meuseun, aku rindu”.
Sesampai di Aceh, ia kembali menangis ketika menjabat tangan Pocut Sariwati, istri seorang petinggi GAM, Muhammad Usman Lampoh Awe, yang meninggal beberapa hari sebelum ia tiba di Aceh (hal. 49). Ini juga menunjukkan, dibalik sikap kerasnya, ia tetap manusia biasa yang mudah terenyuh, termasuk ketika menerima NKRI dan meneruskan kesepakatan damai di Helsinki, 15 Agustus 2005. Dalam pernyataan Malik Mahmud yang kerap mewakili Hasan Tiro ketika berhadapan dengan pers, “setelah damai ini tak ada lagi yang lain”.
Dua tulisannya Demokrasi untuk Indonesia (1958) dan The Price of Freedom : The Unfinished Diary (1984) juga diulas beberapa penulis. Kesimpulannya? Seperti ditulis Saiful Mahdi, seorang dosen dan pendiri Aceh Institute, Hasan Tiro muda adalah republiken sejati. Hingga di tapal waktu yang membuatnya kecewa oleh politik Jakarta yang sentralistik (hal. 209).
Teuku Kemal Fasya, penulis tentang Aceh.
Dimuat di Koran Jakarta, 23 Agustus 2010.
Dimuat di Koran Jakarta, 23 Agustus 2010.